Masalah Privatisasi BUMN

Masalah Privatisasi


BUMN

01-02-06

Alasan utama suatu badan usaha milik negara diprivatisasi adalah demi menopang penerimaan negara dan membantu pemerintah mengurangi defisit anggaran, menciptakan efisiensi ekonomi, mengurangi intervensi pemerintah pada perekonomian, serta membuka pintu bagi persaingan yang sehat dalam perekonomian.

Meskipun perbaikan kinerja badan usaha milik negara (BUMN) itu sendiri bukanlah termasuk alasan utama dilakukannya privatisasi, idealnya privatisasi membuahkan perbaikan kinerja.

Umumnya, metode yang dipakai untuk mengukur keberhasilan privatisasi adalah Metode MNR (diperkenalkan tiga peneliti privatisasi terkemuka, yaitu William L Megginson, Robert C Nash, dan Matthias van Randenborgh). Cerita sukses privatisasi di berbagai negara (baik memakai Metode MNR ataupun metode lain) lebih banyak dan mudah ditemui ketimbang kisah gagalnya privatisasi.

Tulisan ini, dan satu tulisan lain berjudul ”Mengukur Efek Privatisasi BUMN Bersih Vs BUMN Kotor”, merupakan intisari dari tesis berjudul ”State Owned Enterprises Performance after Privatization: Evidence of Republic of Indonesia”, yang telah dipertahankan pada 3 Januari 2006. Tesis tersebut merupakan tugas akhir penulis pada program International Financial Management, sebuah program master kerja sama antara Universitas Groningen (Belanda), Universitas Uppsala (Swedia), dan Universitas Florida (AS).

Tesis tersebut mengupas dampak privatisasi BUMN di Indonesia, dengan menggunakan Metode MNR. Karena keterbatasan data, tidak semua indikator yang dipakai pada Metode MNR untuk meneliti keberhasilan privatisasi dapat disajikan. Indikator yang disajikan dalam tesis tersebut adalah tingkat pengembalian hasil terhadap penjualan atau return on sales (ROS), tingkat pengembalian hasil terhadap aset atau return on assets (ROA), tingkat pengembalian hasil terhadap ekuitas atau return on equity (ROE), penjualan riil atau output (real sales), dan rasio utang terhadap aset atau debt to assets (leverage).

Kelima indikator itu sudah cukup menggambarkan kinerja BUMN. Idealnya, setelah privatisasi, ROS, ROA, ROE (ketiganya merupakan rasio profitabilitas, berfungsi untuk mengukur tingkat keuntungan), dan penjualan riil akan meningkat signifikan, sementara rasio utang terhadap aset akan menurun signifikan. Namun, yang terjadi pada BUMN-BUMN di Indonesia secara keseluruhan, ROS, ROA, dan ROE pascaprivatisasi justru menurun. Rasio utang terhadap aset pascaprivatisasi memang menurun, tetapi tidak signifikan.

Satu-satunya hal yang memenuhi kondisi ideal adalah penjualan riil pascaprivatisasi yang meningkat secara signifikan. Apa penyebab privatisasi BUMN di Indonesia justru menurunkan profitabilitas, dan apa langkah yang harus ditempuh agar privatisasi memberi hasil yang lebih baik, merupakan hal di luar bahasan tesis tersebut.

Kriteria sampel

Untuk mengukur dampak privatisasi pada BUMN di Indonesia, sebagaimana penerapan Metode MNR pada berbagai penelitian privatisasi, kita harus memperbandingkan indikator-indikator kinerja (ROS, ROA, ROE, penjualan riil, dan rasio utang terhadap aset) pada masa sebelum privatisasi dengan indikator-indikator kinerja yang sama pada masa setelah privatisasi. Sebelum memperbandingkan indikator- indikator itu, perlu diperhatikan bahwa BUMN yang dapat menjadi sampel penelitian haruslah memenuhi tiga kriteria.

Pertama, pemerintah harus merupakan pemegang saham mayoritas pada BUMN tersebut sebelum BUMN itu diprivatisasi. Jika pemerintah merupakan pemegang saham minoritas, perusahaan tersebut bukanlah sungguh-sungguh BUMN. Kedua, BUMN yang akan diteliti harus memiliki informasi keuangan paling tidak untuk satu tahun sebelum privatisasi dan satu tahun setelah privatisasi. Ketiga, privatisasi yang ditempuh BUMN yang akan diteliti adalah metode pelepasan saham perdana ke publik (initial public offering/IPO).

Kriteria ketiga ini bukan hendak mendiskreditkan metode- metode privatisasi lainnya, tetapi penjualan kepemilikan kepada publik (melalui IPO) membuat BUMN menjadi independen dan menjadikan kepemilikan terdistribusi. Selanjutnya, kepemilikan yang (lebih) terdistribusi akan menghasilkan nilai pasar (market value) dan nilai pemilikan saham (shareholder value) yang lebih tinggi.

Penelitian dilakukan hanya pada perusahaan milik negara yang benar-benar murni BUMN. Dengan kata lain, perusahaan-perusahaan swasta yang kelak di kemudian hari diambil alih pemerintah karena sesuatu hal—seperti perusahaan-perusahaan yang dimiliki pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)—tak termasuk dalam sampel penelitian karena pada dasarnya perusahaan-perusahaan tersebut bukanlah BUMN.

Pada saat penelitian dilakukan (Agustus-Desember 2005), berdasarkan data Kantor Menteri Negara BUMN, terdapat 158 BUMN di Indonesia, dan 17 di antaranya telah diprivatisasi. Namun, dari 17 BUMN itu, lima BUMN tidak memenuhi kriteria untuk dijadikan sampel. Alasannya, dua BUMN diprivatisasi dengan metode employee management buy-out (EMBO); dua BUMN lain tidak benar-benar diprivatisasi karena pemerintah hanya menjual anak-anak perusahaan kedua BUMN itu, bukan menjual kedua BUMN tersebut; dan pada satu BUMN lainnya pemerintah hanya memegang kepemilikan saham minoritas.

Ke-12 BUMN yang memenuhi kriteria menjadi sampel penelitian ialah Semen Gresik, Indosat, Tambang Timah, Telkom, BNI, Aneka Tambang, Kimia Farma, Indofarma, Tambang Batubara Bukit Asam, Bank Mandiri, BRI, dan Perusahaan Gas Negara.

Setelah menyeleksi sampel menggunakan tiga kriteria di atas, tahap berikutnya adalah menentukan privatisasi mana yang akan diteliti. Di Indonesia beberapa BUMN diprivatisasi lebih dari satu kali karena pemerintah melepas kepemilikannya melalui beberapa tahap (tranches). BUMN yang diprivatisasi lebih dari satu kali adalah Semen Gresik, Indosat, Telkom, Tambang Batubara Bukit Asam, dan Bank Mandiri. Dalam hal suatu BUMN diprivatisasi lebih dari satu kali, privatisasi yang diteliti adalah penjualan kepemilikan pemerintah yang paling signifikan—sekalipun metode privatisasi tersebut bukanlah penawaran saham (perdana) kepada publik.

Kita tidak dapat membatasi pilihan hanya pada privatisasi tahap pertama sekalipun metode privatisasi tahap pertama tersebut adalah IPO karena dalam banyak kesempatan pemerintah hanya melepas sebagian kecil kepemilikannya pada privatisasi tahap pertama itu. Sementara untuk melihat secara jelas kinerja BUMN sebelum dan setelah privatisasi dilakukan, kita membutuhkan perubahan signifikan dalam kepemilikan.

Di samping itu, dalam beberapa kasus, informasi penting atas beberapa BUMN yang diperlukan dalam penelitian tidak tersedia. Jika informasi pada penjualan kepemilikan pemerintah yang paling signifikan (the most significant sales) tidak tersedia, privatisasi yang diteliti adalah penjualan kepemilikan pemerintah yang kedua paling signifikan (the second most significant sales). Untuk kepentingan penelitian ini, penulis menghubungi BUMN- BUMN guna mengumpulkan informasi mengenai privatisasi yang paling signifikan yang tidak tersedia bebas begitu saja. Namun, Semen Gresik, Indosat, dan Telkom tidak menanggapi permintaan informasi tersebut.

Metodologi

Untuk mengukur dampak privatisasi pada kinerja BUMN secara keseluruhan dengan menggunakan Metode MNR, kita memerlukan ROS, ROA, ROE, penjualan riil, dan rasio utang terhadap aset tiap BUMN pada tiga tahun sebelum privatisasi dan tiga tahun setelah privatisasi. BUMN-BUMN yang tidak menyediakan informasi lengkap mengenai indikator-indikator yang diperlukan untuk tiga tahun sebelum privatisasi dan tiga tahun setelah privatisasi tetap diikutsertakan dalam penelitian dengan informasi yang tersedia.

Berdasarkan data indikator-indikator tiga tahun sebelum privatisasi dan tiga tahun setelah privatisasi itu didapatkan median (nilai tengah) sebelum privatisasi dan median setelah privatisasi masing-masing indikator untuk tiap BUMN. Selanjutnya, dihitung rata-rata median masing- masing indikator ke-12 BUMN sebelum diprivatisasi dan rata-rata median masing-masing indikator ke-12 BUMN setelah diprivatisasi. Menggunakan uji statistik Z non-parametrik Wilcoxon peringkat-bertanda (non-parametric Wilcoxon signed-rank test) diperoleh signifikansi selisih median indikator BUMN setelah dan sebelum privatisasi. Pada tabel dapat dilihat bahwa dari kelima indikator yang dipakai, hanya penjualan riil yang meningkat secara signifikan setelah privatisasi dilakukan.(Ferry Irwanto)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar